Saturday, November 21, 2015

Hiking

RUTINITAS

Pagi hari ketika langit gelap dan hujan rintik rintik, jalan raya di penuhi orang lalu lalang menjalani rutinitas mereka masing masing. Terdengar suara seseorang membuka tralis toko di salah satu toko yang berada di pinggir jalan raya. Terlihat seorang Penjaga toko membuka tralis tokonya dari dalam dan penjaga toko tersebut mulai melakukan aktifitas pertamanya dengan bersih bersih, aktifitas yang biasa di lakukan setiap paginya.
Ini adalah kisah nyata yang pernah gue alami sebagai penulis, cerita dari pengalaman yang akan gue ceritakan tentang pengalaman pertama gue naik gunung.
Penjaga toko tersebut adalah gue. Perkenalkan nama gue Imon, itu adalah nama panggilan yang biasa teman teman gue panggil. Pengalaman ini adalah Pengalaman yang tidak akan gue lupakan begitu saja. Awalnya seperti itu rutinitas gue dulu sebagai penjaga sebuah toko Handphone, udah setahun lebih gue kerja semenjak lulus dari sekolah. Walaupun gue sekarang sudah tidak berkerja lagi di sana. Ketika masih berkerja di toko tersebut tetap ada beberapa teman teman sekolah gue selalu datang sekedar main dan mengobrol.
Setelah berkerja, gue pulang istirahat dan keesokan paginya gue bangun untuk kerja lagi dan seperti itu seterusnya sampai sampai berat badan gue naik beberapa kilo. Teman yang paling sering main ke tempat kerja gue salah satunya adalah Agung. Agung ini adalah salah satu dari beberapa teman baik gue yang kalau berkunjung selalu membawa makanan. Inilah salah satu penyebab berat badan gue naik hingga beberapa kilo. Kalo berbicara soal berat badan yang naik, pasti di antara kita ada  yang merasa saat berat badan kita naik dan membuat beberapa anggota tubuh kita membesar. Di saat itu membuat kepercayaan diri kita menurun dan kita merasa risih.

Tapi yang jadi masalah adalah gue kesal dengan bertambahnya berat badan gue yang berarti membesar anggota tubuh gue.
Yang membuat gue merasa kesal, ketika berat badan gue naik dan gue terlihat gemuk di bandingkan sewaktu gue masih sekolah. Ada beberapa hal yang membuat gue merasa kesal ketika orang menilai gue, salah satunya adalah ketika salah satu mantan gue melihat foto terbaru yang baru saja gue upload ke media sosial, tiba tiba dia comment di foto yang baru gue upload. Komentarnya bukan berupa ajakan untuk balikan, minta pulsa, dan sebagainya, tapi komentar yang jelas tertulis "Lu bulet sekarang". Sontak gue kaget kenapa dia tega berucap seperti itu ke gue setelah yang sudah kita lewati selama ini, yang bikin gue panik adalah itu di media sosial, gimana kalau berjuta juta followers gue melihat apa yang dia ucapkan. Tapi sebagai lelaki masa kini gue harus tetap tenang dan berfikir lebih dewasa.
Akhirnya gue membalas komentar dia dengan komentar gue yang tertulis "iya gue bulet, karena gue merasa lebih baik dari sebelumnya" sejak gue membalas komentar itu, gue tidak pernah melihat dia update status.
Menyambung cerita sebelumnya, suatu hari saat gue di toko tepatnya pada saat adzan maghrib ketika jalanan terlihat sedikit ramai dengan langitnya yang masih gelap, pemuda yang kita bicarakan sebelumnya akhirnya datang yaitu Agung.

Agung selain kerjaannya cuma mengajak orang makan dia juga suka membahas beberapa hal, mulai dari kemacetan, bajir, bisnis, ekonomi, sosial, agama, suku, budaya, gebetan dan lain sebagainya. Hal yang paling sering dia bahas ketika itu adalah Gunung, dia menceritakan pengalamannya naik gunung bersama teman temannya, awalnya memang gue tidak tertarik dengan apa yang dia ceritakan tapi gue selalu mendengarkan ketika seseorang bercerita kepada gue. Karena salah satunya yang membuat gue di sukai para wanita adalah sifat gue yang selalu menjadi pendengar yang baik.
Sampai akhirnya keluar dari mulut Agung untuk mengajak gue naik gunung, entah apa yang merasukinya waktu itu.
"(Agung bercerita pengalamannya).. seruu mon. Ayo kapan kapan kita naik gunung. Nanti gue ajak yang lainnya. Kalau bisa bulan depan gimana?"  Saat itu gue tidak tau harus menjawab apa dengan ajakan Agung untuk naik gunung. Akhirnya gue menolak ajakannya dengan beberapa alasan.

Alasan pertama, Gue tidak mungkin naik gunung begitu saja, karena toko tempat gue berkerja hanya ada dua shift, pagi dan sore sedangkan hari sabtu full day dari pagi sampai malam dan minggu gue libur. Jika gue harus izin, gue harus bilang jauh jauh hari ke atasan dan lawan shift gue.
Alasan kedua adalah kondisi keuangan gue, karena ketika itu gaji gue belum turun. Seperti biasa karena atasan gue yang terlihat sibuk mungkin dia lupa atau atasan gue belum punya uangnya. Dan alasan terakhir adalah keluarga gue, gue belum bilang ke orang tua gue kalo gue ingin naik gunung dan belum tentu mereka mengizinkan.
Setelah gue memberikan alasan penolakan ajakan Agung untuk naik gunung, Agung pun mengerti dengan kondisi yang gue alami waktu itu. Agung memang pengertian sebagai teman atau mungkin dia cuma pengertian ke teman temanya sedangkan gebetan dan pacar yang sekarang menjadi mantan mantannya pun terabaikan.

".. Gituu gung, gue si pengen aja naik gunung" bilang gue dengan alasan gue tersebut. Tapi Agung selalu terlihat antusias untuk mengajak gue naik gunung dan gue cuma bisa bilang "iya gung, kalo gue boleh sama atasan gue" "iya gung, kalau gue punya uang" "iya gung, kalo gue boleh sama orang tua gue". Kalau dari diri gue pribadi, gue juga ingin mencoba merasakan rasanya naik gunung tapi karena ada beberapa hal yang menghalangi jadi gue hanya bisa menjawab ajakan Agung dengan keraguan saja.
Tapi lambat laut setelah berusaha, hal hal yang menghalangi gue menghilang, seperti ada jalan gue bisa ke puncak gunung. Hal pertama gue bisa atasi dengan gue bilang ke lawan shift gue, kalo gue mau naik gunung tapi gue sengaja tidak ingin bilang ke atasan gue karena mungkin pada saat itu gue berfikir bahwa dia akan melarang. Lawan shift gue pun mengerti dan mengorbankan waktunya untuk menjaga toko seharian.
Hal kedua, masalah keuangan gue teratasi, gaji gue turun walaupun saat itu cuma sebagian, jadi hal kedua pun selesai.
Hal ketiga ini yang lebih berat yaitu izin dari orang tua.
Sebelum kita membahas hal ketiga gue mau memberitahu teman teman gue yang akan ikut untuk naik gunung. Selain gue dan Agung, temen gue yang lainya adalah Ferry, Iqbal, dan Sena. Gue berlima yang akan mendaki sebuah gunung.

Masalah izin ke orang tua itu yang amat sangat susah, gue sampai membawa teman teman gue itu untuk membicarakan ke orang tua gue kalau kita pasti bisa menjaga diri. Orang tua gue awalnya sangat melarang dengan niatan gue naik gunung. Sampai karena keseriusan gue dan teman teman gue, orang tua gue akhirnya menyutujuinya. Tapi dengan sebuah nasihat yaitu kita tidak boleh sombong karena kita akan berada di wilayah orang lain. Akhirnya semua hal yang menghalangi, kita anggap semua selesai.

PROFESIONAL

Segala sesuatu atau rencana yang akan kita lakukan butuh apa yang namanya persiapan. Di bagian ini gue akan membahas apa saja persiapan yang semestinya kita lakukan sebelum mendaki gunung menurut artikel artikel yang sudah gue pelajari, mudah mudahan membantu kalian walaupun tips yang akan gue tulis mungkin sebagian dari kalian sudah tau. Karena mungkin kalian lebih Profesional.
Pertama menurut gue kita harus siap mental, selain kita harus siap mental kita juga harus memperbaiki sikap dan ibadah kita. Karena dengan niat dan siap mental kita secara tidak langsung siap menghadapi kemungkinan yang akan terjadi. Karena siap mental menurut gue dengan mengetahui resiko apa saja dari apa yang akan kita lakukan sehingga kita harus siap dengan resiko tersebut, yang berarti siap juga mental kita.

Memperbaiki sikap, karena sikap yang bersifat merugikan yang biasa kita lakukan apabila kita lakukan di tempat orang lain, bisa jadi kita membahayakan diri kita sendiri. Hal itu yang membuat orang lain tidak suka dengan apa yang biasa kita lakukan dari sikap kita, yang harus kita lakukan adalah mengintropeksi diri kita apa saja perbuatan kita yang sering merugikan orang lain. Memperbaiki ibadah, setiap manusia memang harus selalu memperbaiki ibadahnya mungkin ada yang sering sembahyang nya ketinggalan sebaiknya kita perbaiki, yang biasa kita tidak pernah membaca Al Quran bagi yang islam kita harus memperbaikinya.
Apa hubungannya ibadah dengan naik gunung ? Kembali ke siap mental yang tadi, bahwa kita harus tau resiko apa saja yang kemungkinan akan kita hadapi. Karena menurut gue ketika kita berencana untuk mandaki sebuah gunung atau naik gunung, sama saja kita sudah merencanakan kematian kita.

Kedua, setelah persiapan mental dan yang lainnya. Peralatan mendaki juga sangat amat penting untuk di persiapkan. Berikut ini peralatan apa saja yang seharusnya kita bawa untuk mendaki gunung.
Ada dua kategori peralatan mendaki gunung menurut artikel artikel yang gue baca, peralatan kelompok dan peralatan individual

Peralatan Kelompok

1. Tenda
Menurut gue tenda yang sangat wajib di miliki di setiap kelompok atau individu, jika kelompok kita ada 4 orang minimal tenda kita yang bermuatan sampai 5 orang.
2. Logistik atau makanan
Logistik seperti beras, roti, mie instan, dan lainya, usahakan makanan cukup untuk persediaan selama kita berkemah
3. Peralatan komunikasi
Seperti walkie talkie, komunikasi sangat penting apalagi untuk yang mendaki secara berkelompok. Apabila kita tidak punya juga tidak apa, tapi menurut gue ini penting khususnya untuk orang yang tidak terlalu tau jalur pendakian.
4. Peralatan masak
Seperti kompor portable, nesting dan lain lain

Peralatan Individual

1. Tas gunung atau carrier (wajib)
2. Jaket gunung (wajib)
3. Sepatu atau sandal gunung (wajib)
4. Sleeping bag (wajib)
5. Pakaian outdoor
6. Matras (wajib)
7. Senter atau headlamp (wajib)
8. Sarung tangan (wajib)
Dan masih banyak lagi peralatan individual, sumber infogunung.com

AMATEUR

Di atas adalah persiapan yang semestinya di miliki oleh setiap kelompok pendaki. Berbeda dengan apa yang kita alami, gue dan teman teman gue yang masih amatir ini hanya punya peralatan yang seadanya. Dari mulai peralatan kelompok dan peralatan individual.
Tenda, sudahlah pasti kita bawa tenda. Tenda menjadi tanggung jawab nya Agung karena dia juga yang meminjam di toko perlengkapan outdoor dengan KTP sebagai jaminannya. Logistik kita ada, perlengkapan komunikasi kita tidak punya selain Smartphone yang percuma di sana tidak ada sinyal, perlengkapan masak pun kita ada juga dan ini menjadi tanggung jawab Iqbal yang selalu mengeluh bahwa dia yang membawa peralatan masak. Itu semua merupakan perlengkapan kelompok yang syukurnya kita punya.
Berbeda dengan perlengkapan individual, di mulai dari gue. Tas gunung atau carrier gue tidak punya, terpaksa gue bawa tas ransel yang biasa. Jaket gunung gue punya, tapi jaket gunung militer bokap gue. Sarung tangan gue punya, sarung tangan motor. Sepatu gunung gue tidak punya, terpaksa gue memakai sepatu sport yang biasa buat lari. Itu baru gue gimana 4 orang teman gue yang lainnya.
Contohnya temen gue yang bernama Sena, Sena ini menurut gue salah satu temen baik gue yang unik. Jika kita di ibaratkan dengan seekor hewan, dia pasti termaksut peranakan dari T-rex. Dia unik karena jaket gunung di ganti dengan jaket motor dan mungkin kalau sarung tangan motor yang gue punya gue kasih ke Sena, mungkin orang beranggapan tukang ojek juga bisa naik gunung dan tas yang di bawanya pun juga tas yang biasa di bawa orang untuk pulang kampung.
Matras yang membawanya cuma teman gue yang bernama Ferry dia juga yang membawa sleeping bag, selain Ferry tidak ada lagi yang membawa matras dan sleeping bag. Ferry Agung, dan Iqbal termaksut kategori yang lumayan lengkap di bandingkan gue, apalagi Sena.

Dengan seadanya peralatan, kami tetap memutuskan untuk naik gunung karena menurut Agung gunung yang akan kita kunjungi itu mempunyai medan yang mudah dan Agung juga bilang kalau dia sangat memahami rute perjalanannya. Agung, Anak Gunung sesuai namanya.
Gunung yang akan kita kunjungi adalah Gunung Papandayan yang berada di Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Gunung ini mempunyai ketinggian mencapai 2.665 m atau 8.743 kaki. Sumber: Wikipedia
Peralatan sudah siap dan akomodasi pun sudah siap, kecuali teman gue yang bernama Sena (lagi) dia hanya punya uang sebesar 100 ribu rupiah. Karena kondisi gue yang baru mendapatkan gaji dan gue anggap kalo Sena teman baik gue, jadi akomodasi dia gue yang menambah kekurangannya. Karena gue fikir mungkin tidak sampai 100 ribu rupiah untuk menutupi kekurangannya.
And last pada hari dan tanggal Jum'at, 06 Maret 2015 teman teman gue berkumpul di rumah gue setelah adzan subuh dan kita siap untuk melakukan perjalanan.

PERJALANAN

Adzan Subuh terdengar bersamaan ketika gue yang sudah bersiap siap. Menyempatkan diri untuk solat subuh, ketika selesai solat gue duduk sejenak di kursi ruang tamu. Lima menit kemudian teman teman gue memanggil nama gue dari luar rumah, dan gue izin dengan orang tua gue sebelum berangkat.
Terlihat di langit yang kebiruan, dan segelintiran orang baru saja pulang dari masjid. Di saat itu juga kita berangkat menuju Gunung Papandayan. Kami berangkat menuju stasiun Kota pada subuh hari lalu kemudian sekitar pukul 6 pagi kita dalam perjalanan, kami sangat merasa menikmati perjalanan walaupun jalanan ibu kota di pagi hari pun macet. Setelah sampai di halte busway Kota sekitar pukul 7 saat jalanan ibu kota di hangatkan cahaya matahari, kita berjalan kaki sebentar menuju stasiun, tapi sesampainya kita di stasiun masalah mulai terjadi.
Kita mengantri di tempat penukaran tiket, antrian yang lumayan ramai. Satu persatu dari kita memberikan KTP dan bukti pemesanan tiket, lalu masuk ke dalam peron.
Tapi tiba tiba Agung dan Ferry yang belum masuk ke dalam.
Ternyata Agung tidak membawa KTP, karena ketika kita memesan tiket kereta kita berlima memakai KTP untuk memesan tiketnya. Sialnya KTP yang Agung punya di jadikan jaminan karena kami menyewa tenda di toko outdoor. Agung dan kami tidak menyangka hal ini akan terjadi. Kereta yang kami akan tumpangi sudah stand by sejak kami datang. Ferry dan Agung pun bersusah payah menjelaskan kepada penjaga penukaran tiket kereta, di saat waktu yang sama di antara kami mulai saling salah menyalahkan, karena menurut Sena bahwa tidak ada KTP tidak apa apa selagi ada dokumen yang lainnya. Pada kenyataannya tidak ada KTP tetap tidak boleh karena tiket yang Agung pesan menyamtumkan KTP nya, dan di situ kami semua menyalahkan Sena. Setelah beberapa menit kemudian dan antrian sudah sepi kami masih tetap membujuk petugas penukaran tiket dan tinggal beberapa menit lagi kereta kita akan jalan.
Di saat itu Agung dan Ferry berbelas kasihan kepada petugas tersebut dan akhirnya dengan rasa kasihan petugas tersebut memperbolehkan Agung untuk menukarkan tiketnya. Rasanya gue lega mendengarnya dan kita saling menasihati satu sama lain dan bukan hanya kita menasihati Sena the T-rex karena kesalahan informasinya tetapi kita semua pun juga salah. Kira kira pukul 8 pagi kereta berangkat dan dengan senang kita duduk menikmati perjalanan.
Di perjalanan kita sangat merasa nyaman dengan jumlah penumpangnya yang sedikit di gerbong yang kami tempati. Sepinya gerbong membuat kita leluasa mengobrol, bercanda, dan bolak balik ke toilet. Setelah beberapa jam tapatnya jam setengah 11 siang, kereta pun berhenti di salah satu stasiun. Tiba tiba beberapa penumpang berbondong bondong mencari kursi mereka. Kami mulai sibuk kembali ke posisi tempat duduk kami karena sebelumnya kami bebas duduk di mana saja. Orang orang sibuk mencari tempat mereka dari mulai ibu ibu, kakek kakek, nenek nenek semua sibuk. Di saat itu gue memutuskan untuk memakai sepatu karena sebelumnya dari Jakarta gue sengaja memakai sandal. Saat gue memakai sepatu di deretan bangku gue mulai di penuhi penumpang lainnya yang membuat gue berhenti memakai sepatu, sehingga gue hanya memakai sepatu di bagian kiri saja sedangkan kaki kanan gue belum memakai sepatu.

Dengan sempitnya tempat duduk secara perlahan gue mulai mengambil kaus kaki di dalam sepatu tepatnya di bawah bangku, sambil gue tersenyum dengan seorang ibu ibu yang sedang berbicara. Secara perlahan memakai kaus kaki dan gue mulai memakai sepatu. Setelah selesai dengan tenang gue mendengarkan ibu ibu tersebut yang sedang bercerita pengalamannya ketika sembuh dari penyakit.
Sekitar pukul setengah 1 siang kereta berhenti di stasiun Cibatu, Garut. Hanya kami berlima yang turun di stasiun Cibatu di antara banyaknya penumpang dan sebelum turun kami mengambil tas dan perlengkapan lainnya dari tempat menaruh tas di atas. Ketika mengambil tas dan ibu ibu yang menceritakan pengalamannya tadi memberikan nasihatnya "mau naik gunung ya ?" Ibu ibu itu bertanya, dan beberapa dari kita menjawab sambil tersenyum "iya bu" , "hati hati ya lagi musim hujan" ibu ibu itu menasihati, dan kami hanya tersenyum.
Pintu gerbong bagian samping terbuka, saat terbuka cahaya matahari tepat berada di kepala kita. Ketika turun, kami berkumpul sejenak tepat beberapa meter di sebelah gerbong. Terlihat orang orang di jendela gerbong yang kami tempati tadi memandangi kami berlima.
Kemudian kereta yang kami tumpangi pun pergi dan kami berjalan meninggalkan stasiun Cibatu. Saat beberapa meter dari stasiun yang sepi calon penumpang dan tanpa ada pedangang, salah satu dari kami bertanya kepada salah satu penduduk yang berjalan ke arah kita. Agung bertanya kepada bapak bapak yang terlihat sekitar umur 50 tahunan itu, Agung bertanya dengan bahasa Indonesia tapi dengan logat sunda.
Agung bertanya "maaf pak mau nanya, kalo mau ke arah Gunung Papandayan gimana ya?" "Oh Papandayan ke arah sana" bapak itu sambil menunjuk ke arah kanan kami "nah naik aja angkot kuning itu" bapak itu menunjuk ke arah angkot di jalan raya sekitar 2 kilometer dari tempat kami, "oh gitu, terima kasih pak" Agung berterima kasih.

Setelah sampai di jalan raya, angkot kuning yang di tunjuk bapak bapak tadi rela menunggu kami yang berjalan, padahal di dalam angkotnya ada penumpang. Mungkin supir angkot itu tau kalo gue berlima datang dari Jakarta. Saat kita menyebrang jalan dan menghampiri angkot tersebut. Lalu Agung berbicara ke supir angkot tersebut "kang, ke papandayan kan?" Supir itu bilang "oh ayo naik aja kang". Saat di perjalanan Agung bertanya kembali ke supir tersebut "masih jauh kang gunung papandayan nya ?" "Oh masih jauh kang, nanti akang naik angkot lagi" supir itu menjawab, dan Agung bertanya lagi "jadi ini gak langsung ke sana kang?" dan supir itu menjawab "ya enggak kang nanti dari terminal ada mobil lagi ke papandayan" dan Agung dengan kecewanya bilang "oh gituu" sambil melihat ke pandangan gue dan teman teman gue yang lainnya.
Kira kira jam 2 sore kita sampai di terminal Guntur, Garut. Dengan baiknya supir angkot yang kami tumpangi itu mencarikan mobil yang ke arah papandayan, supir tersebut berkeliling dengan mobilnya yang kami berlima masih di dalamnya dan bertanya kepada supir supir yang lainya tentang mobil angkot yang ke arah papandayan dalam bahasa sunda. Setelah beberapa menit mencari, supir angkot tersebut bertemu salah satu supir angkot yang kebetulan akan lewat depan pintu masuk Papandayan, lalu kita turun dari mobil angkot sebelumya dan membayar dengan tarif 9 ribu perorangnya.

Setelah itu kami tidak langsung menaiki mobil yang sudah di rekomendasikan oleh supir angkot sebelumnya, kami berkumpul lebih dahulu tetapi angkot tersebut tetap menunggu kami. Supir angkot di sana pasti setia kepada istri mereka, di buktikan dengan rela menunggu kami.
Agung menghampiri angkot tersebut dan bertanya yang bertujuan untuk meyakinkan apakah benar mobil ini ke Papandayan, supir tersebut pun membenarkannya dan meyakinkan Agung jika mobil ini benar ke sana. Setelah itu kami pun naik mobil tersebut dan menuju Papandayan. Di tengah perjalanan gue berfikir dan berbicara dalam hati "kenapa gak sekalian aja naik bus dari Jakarta langsung ke terminal Guntur, kan kalo begitu gak perlu mahal mahal naik kereta".
Beberapa menit setelah mobil berangkat menuju Papandayan supir angkot dari mobil yang baru kita tumpangi tersebut berbicara kepada kami "kemping mah di pantai de yang lebih enak, ketimbang di gunung" di saat itu seseorang di sebelah supir tersebut tertawa dan kami yang posisinya di bagian belakang hanya bisa tersenyum biasa saja, yang ada di benak gue ketika si supir berucap seperti itu adalah "yang bener aja. Masa iya gue mau nginep di pantai Ancol gitu ?".
Sekitar satu jam lebih kami sampai di seberang pintu masuk ke kawasan Papandayan dan tarif dari angkot tersebut sebesar 10 ribu rupiah. Setelah turun kami berkumpul tepat di seberang jalan pintu masuk ke Papandayan. Terlihat lima bapak bapak tukang ojek menghampiri kita, berjalan perlahan ke arah kami tanpa musik dengan hembusan angin yang mengerakan jaket dan rambut mereka, salah satunya yang berambut kuncir panjang.

Si Gondrong

Mereka menawarkan jasa mereka sebagai tukang ojek untuk mengantar kami hingga ke pos yang berada di lereng gunung Papandayan. Seseorang dari kami bertanya apakah jika jalan kami bisa sampai ? Salah satu tukang ojek itu menjawab "ya gak apa apa kalo mau jalan, tapi bisa sampe malam baru sampai pos".
Saat itu langit sangat gelap dan air hujan mulai gerimis kami masih berada di pinggir jalan seberang pintu masuk. Akhirnya setelah beberapa menit berbicara dan tawar menawar soal tarif jasa mereka, kami pun memutuskan untuk mau memakai jasa mereka. Tarif yang mereka tawarkan sebesar 30 ribu dan karena para tukang ojek itu tidak mau di tawar, apalah daya kami pun terpaksa setuju dengan tarif mereka. Sebelum berangkat gue bergegas mengambil jaket gunung gue dan akhirnya berangkat kami berlima dengan lima motor yang berarti satu tukang ojek dan satu penumpang dalam satu motor.

Motor ojek yang kami tumpangi tidak berjalan secara bersamaan dan malah saling mendahului. Awalnya motor yang gue tumpangi berada di posisi ke dua dan tukang ojek yang gue tumpangi sebut saja si Gondrong, berhenti di sebuah rumah dan mengisi bensin. Awalnya gue mengira kalo si Gondrong ini akan mengisi bensin di tempat jual bensin eceran, ternyata di rumah tersebut ada mesin untuk mengisi bensin seperti di POM pada umumnya. Saat motor si Gondrong sedang mengisi bensin, teman teman gue mendahului gue dan akhirnya gue di posisi terakhir. Setelah mengisi bensin selesai, gue bersama si Gondrong tersebut pun lekas melanjutkan perjalanan.

Di perjalanan selalu kita dalam posisi jalanan yang diagonal menuju ke atas dan motor selalu dalam posisi gigi satu atau dua. Gue mulai memasuki hutan, tapi kami masih di jalanan aspal dan terus menuju atas dengan motor ojek. Kondisinya sangat sepi dan gue merasa terancam dengan tukang ojek yang gue tumpangi, gue takut kalau dia berbuat kriminal ke gue, gue takut kemerdekaan gue di kotori oleh tangannya. Gondrong!
Yang ada di benak gue "kalau sampai ini si Gondrong berhenti, gue harus siap posisi menyerang". Di perjalanan gue dan si Gondrong masih menuju ke atas, tiba tiba hujan turun deras, hujan deras itu mulai membasahi rambutnya yang terkuncir dan begitu indah, maksutnya pemandangannya yang indah!
Si Gondrong masih terus melaju motornya sekuat tenaga. Dalam hati gue berbicara "wah hujan, gue tegor gak ya ni tukang ojek. Aduuh entar gue di serang lagi". Beberapa saat kemudian gue melihat Agung dengan tukang ojeknya berhenti di pinggir jalan dari kejahuan, yang masih dalam kondisi menanjak untuk memakai jas hujan. Setelah gue melihat dan melewati Agung, akhirnya gue memutuskan untuk menegur si Gondrong "kang? Bawa jas ujan nya ?"  Gondrong menjawab "iya bawa kang" dan gue segera bilang "di pake aja kang" langsung si Gondrong menghentikan motornya lalu gue segera turun dan membaca setiap pergerakannya dalam posisi menyerang.
Si Gondrong pun turun dan menghampiri gue "maaf kang saya kencing dulu" si Gondrong pun menuju sebuah pohon lalu dia kencing di pohon tersebut, dan gue hanya bisa terdiam sesudah dia bilang seperti itu lalu gue bergegas mengambil jas hujan gue sebelum si Gondrong menyelesaikan urusanya dengan pohon tersebut.
Masih dalam keadaan hujan dan dingin. Gue dan Gondrong melanjutkan perjalanan kami. Hampir satu jam perjalanan dan kemudian kami sampai di sebuah rumah yang juga termaksud pos Papandayan. Setelah kami sampai dan membayar tarif ojek yang sudah kami janjikan satu persatu, entah mengapa setelah membayar ojek tadi bergegas turun kembali ketempat mereka dan tanpa menyalakan mesin motor mereka.

PENDAKIAN

Seseorang menyambut kami di pos tersebut, sebut saja dia dengan Akang. Kami di suruhnya untuk menghangatkan badan kami di api unggun yang telah dia persiapkan. Saat itu pendaki hanya kita berlima karena sebenarnya pendaki pada biasanya mendaki keesokan harinya yaitu hari sabtu. Tapi menurut si Akang tadi sudah ada pendaki di atas sana "Di atas si udah ada beberapa orang yang ngecamp, cewe cewe lagi" Akang berkata lalu tersenyum dan teman temanya tertawa kecil begitu juga kami "giliran cewe aja seneng" Akang melanjutkan.
Agung mengurus masalah administrasi dengan si Akang di dalam rumah dan kami sisanya masih berkumpul dekat api unggun sambil bercengkrama dengan teman teman Akang tadi. Setelah masalah administrasi selesai kami berkumpul berlima. Saat kami berkumpul dengan teman teman gue, gue berfikir sepertinya seru jika mendaki di saat hujan begini dan mendaki di saat malam. Akhirnya gue memutuskan untuk bilang ke temen temen gue kalo kita lebih baik berangkat sekarang, kenapa gue bisa memutuskan untuk berangkat ketika waktu sebentar lagi malam ? Karena seperti yang Agung ucapkan dia sudah hafal dengan rute pendakian.

Seseorang dari kami yaitu Iqbal berkata "serius mau jalan sekarang ?" dengan wajah heran dan gue menegaskan "iya sekarang, seru tau hujan terus gelap, kan Agung udah tau ini jalannya" dan Agung pun menyetujuinya. Setelah selesai solat ashar dan berkemas, kami pun meminta izin kepada Akang jika kami ingin mendaki sekarang. Akang cuma berkata "yang bener mau naik sekarang ?" Agung menjawab "iya kang" "yaudah kalo mau naik sekarang, nanti kan di atas banyak tuh kayu kayu bekas gusuran warung, nanti di bakar aja ya buat penghangat" jawab Akang, "iya kang" jawab Agung, dan Akang meberitahu kami "nanti rutenya lewat sungai aja ya", tapi Agung memotong pembicaraan Akang "emm kita mau lewat hutan mati kang" dan si Akang pun bilang "kalo hutan mati si lagi rawan longsor, soalnya kan lagi musim hujan juga. Tapi kalo mau lewat situ si terserah aja" Agung menjawab pernyataan si Akang "iya kang tenang aja". Lalu kami berjalan dan mulai meninggalkan pos tersebut, saat baru berjalan si Akang tiba tiba bertanya "tau kan jalannya ?" Dan Agung menjawab dalam keadaan kami yang sedang berjalan sambil menengok si Akang "iya kang tau".

Setelah meninggalkan daerah pos tadi, kami memasuki jalan berbatu yang teraliri air hujan, air yang menuju ke daerah pos. Kami berjalan dalam keadaan sedikit menanjak dengan texture bebatuan yang sangat keras, di sisi kanan dan kiri kami masih ada beberapa pohon yang tidak terlalu tinggi. Beberapa saat kemudian pandangan kami tertuju pada luasnya dataran bebatuan dan berpasir dan dari kejauhan kami bisa melihat asap belerang yang keluar dari permukaan bumi.
Kami terus menanjak dan masih menginjak bebatuan, kami melihat aliran sungai yang kecil dan kami berjalan di sebelah aliran sugai itu sampai akhirnya sungai itu berada di bawah kami dan kami sudah pada posisi ketinggian. Kami mulai mendekati kumpulan asap belerang yang tertiup angin ke arah kanan, asap belerang tersebut keluar dari permukaan bumi di sebelah kiri depan kami. Kami masih dalam keadaan berjalan di bebatuan dan beberapa dari kami mulai merasa lelah, salah satunya gue.
Agung yang posisinya saat itu beberapa meter di depan kami, kemudian dia berhenti dan berteriak "berenti woy! Buntu buntu" dan Ferry membalas teriakan Agung "apaan ?" Agung berteriak lagi "jalan buntu, depan jurang" kata Agung yang masih berhenti di sisi jurang itu. Masih keadaan hujan dan nafas kami tersesakan oleh baunya aroma belerang yang menyengat. Sebenarnya jurang itu seperti jalan bebatuan ke atas dan tiba tiba jalan itu menurun vertikal ke bawah yang ketinggiannya mencapai 7 hingga 8 meter dari tempat Agung berdiri.
Kami mengambil masker dan mempercepat sedikit jalan kami dan menghampiri Agung yang masih berada di sisi jurang sambil melihat ke bawah. Kami sampai ke sisi jurang dan Kami mulai melihat ke bawah juga. Tidak mungkin dengan keadaan kita seperti itu turun ke bawah. "Gak ada jalan lain gung ?" Feri bertanya kepada Agung, lalu Agung menjawab "kayaknya kita harus muter lewat sana, kita ke hutan mati itu dan kita baru ke depan sana"  dan gue bilang "yaudah ayo". Setelah itu kami turun kembali lewat jalan bebatuan yang terasa keras tadi, di perburuk dengan kondisi sepatu kami yang basah. Setelah sampai di bawah kami menyebrangi sungai kecil tadi. Berjalan menuju hutan mati dengan kondisi badan yang lumayan lelah. Di perjalanan menuju hutan mati gue memberikan candaan ringan ke temen temen gue "emh! Baunya masih kecium aja, Sena kalo udah kentut bau belerang" Sena berteriak sambil tertawa kecil "kan emang ada belerang!"

Hujan mulai reda dan cahaya langit mulai menggelap. Kami sampai ke sebuah hutan semak belukar, semak belukar itu lumayan tinggi sekitar 1 meter. Jadi kita harus memanjatnya, karena itu menurut Agung jalan menuju hutan mati. Akhirnya matahari menghilang, langit sedikit biru kegelapan. Kami mengambil senter masing masing. Berjalan di kegelapan dan melewati sempitnya semak belukar yang ternyata tinggi semak itu lebih tinggi dari kita. Situasinya sangat mencekam sekali, kami berjalan di kegelapan, sempitnya semak semak dan mulut kami mulai mengeluarkan uap. Kondisinya benar benar sangat panik, Agung berjalan paling depan mencari jalur keluar karena sangat sempit dan kondisi jalan yang selalu menanjak. Ketika itu gue merasa takut dan merasa menyesal, tapi gue hanya bisa diam. Teman teman gue yang lain menyalah kan Agung, karena dia bilang dia tau jalan menuju tempat seharusnya kita berkemah. Gue juga merasa bersalah karena gue yang menyuruh Agung mendaki di malam hari, ternyata kenyataannya berbeda dengan perkiraan gue. Agung merasa bersalah tetapi dia tetap berjalan paling depan, bahkan kami hanya bisa melihat cahaya senternya dan mendengar suaranya saja. Akhirnya Agung berhenti, beberapa saat kemudian kami juga berhenti. Berhenti di sebuah batu yang sama rata dengan tanah, kami sangat beruntung dengan adanya batu tersebut. Kami bisa mendirikan tenda karena tidak di tumbuhi pohon pohon dan semak belukar lainnya.
"Sorry kawan gara gara gue, kita jadi kesesat" Agung menyesal, Sena merespon "yah terus gimana" dan iqbal dengan kesal bilang "ah lu gung kan gue bilang tadi di bawah, serius kita mau mendaki malem malem ? Begini kan akhirnya, lu bilang juga lu tau jalannya!" Agung berkata "yah iya sorry, apa kita telfon Akangnya aja ya ? Apa kita turun ke bawah lagi ?" Sena menjawab "percuma gimana mau nelfon gak ada sinyal". Saat itu kondisinya sangat gelap dan kami hanya di terangi oleh cahaya senter, di kelilingi semak belukar. Pandangan kita terbatas karena sangat gelapnya dan Gue hanya terdiam, ketika itu di fikiran gue seperti berlawanan, antara berfikir apa yang harus di lakukan dengan apa gue akan mati ?

"Udah udah, mending kita ngebangun tenda sekarang" Feri berkata sedikit teriak, Agung berkata "iya kita ngebangun tenda aja". Akhirnnya kita pun memutuskan untuk bermalam pada saat itu, dengan tenda yang di pasang secara tidak sempurna. Akhirnya kami satu persatu masuk, karena tenda tidak terpasang sempurna kami saling berdempetan dalam keadaan panik dan dingin.
Dingin, sangat dingin yang kami rasakan pada saat itu kami seperti berada di dalam sebuah kulkas yang sangat besar. Di buktikan dengan pekatnya uap yang keluar dari mulut kami, seperti orang yang merokok. Satu jam kami merasa dingin kami memutuskan untuk berbaring tiduran. Musibah terus berdatangan, resleting tenda kami rusak yang akhirnya tidak menutup sempurna. Sehingga terkadang angin masuk kedalam tenda kami. Sleeping bag yang Ferry punya di pakai berdua dengan Agung. Posisi Agung berada dekat lubang masuk tenda, jadi di sebelah kiri Agung pintu masuk ke dalam tenda. Setelah Agung ada Ferry, Gue, Iqbal dan Sena paling ujung kanan. Kami berlima berbaring memandangi bagian langit langit tenda dan mulai berbicara satu sama lain. Banyak yang kami bicarakan dari mulai salah menyalahkan sampai penyesalan.
Mungkin pada waktu itu cuma gue yang amat sangat drama di bandingkan drama teman teman gue. Gue sedih dan menyesal, entah mengapa tiba tiba gue teringat sudah pernah menyakiti hati kedua orang tua gue dan gue yang membuat keputusan untuk mendaki malam hari.
Saat itu gue berjanji apa bila gue masih di beri kesempatan untuk hidup, gue akan memeluk orang tua gue ketika sampai di rumah nanti. Teman teman gue hanya terdiam dan mendengarkan penyesalan gue. Sekitar pukul 9 malam beberapa dari kami sudah tertidur. Bisa di bayangkan kami harus tidur dan berbaring dalam keadaan dingin, berdempetan, dan di perburuk dengan tenda yang terbuka selama 12 jam dari jam 7 malam sampai jam 7 pagi esok hari.

Keadaan gue yang tidak bisa tertidur karena seluruh badan gue yang dingin apalagi kaki gue, padahal gue sudah memakai kaus kaki dan mungkin teman teman gue merasakan seperti yang gua rasakan. Yang gue denger ketika gue belum tertidur hanyalah suara angin kencang yang menghempas tenda kami, suara gerumuh belerang yang seperti kami tertidur di pinggir jalan tol dengan beberapa truk yang lewat, dan suara hujan deras mengenai tenda kami.
Tiba tiba gue tersadar kalau gue tadi tertidur, jadi gue tidak terasa mengantuk tiba tiba gue dalam keadaan bangun tidur. Setelah bangun tadi gue melihat jam yang masih pukul 11 malam, gue merasa sedih karena masih lamanya kami melihat cahaya matahari. Saat terbangun dari tidur ini gue merasa sangat amat bersedih, gue putus asa karena gue berharap gue bermimpi, gue berharap gue sedang tertidur di kamar gue, ternyata semua ini adalah kenyataan yang harus gue hadapai.
Gue mencoba memperbaiki resleting tenda yang rusak tadi, dan ternyata bisa dan gue menutup tenda kami. Tidak tertutup rapat tapi lebih baik, karena mengurangi angin yang masuk ke tenda kami. Setelah itu gue mencoba untuk tertidur kembali, dan akhirnya gue tertidur.

Sedih, menyesal, ketakutan, berserah diri, itu yang gue rasakan.

Dalam tidur gue, gue selalu mendengar suara angin yang di sertai hujan dan gemuruh belerang. Gue membuka mata perlahan dari tidur kedua gue, dan tiba tiba gue seperti bisa melihat dengan pandangan mata gue yang seakan bisa menembus tenda, jadi gue bisa melihat situasi di luar tenda. Gue seperti melihat dedaunan dari semak semak yang menutupi tenda kami. Padahal bukan seperti itu seharusnya semak semak yang mengelilingi kami dan juga semak semak belukar tersebut berjarak dari tenda kami tidak sampai menutupi tenda.
Tapi ada yang aneh, gue lihat tenda yang gue dan teman teman gue tempati seperti tertutup semak semak yang bedaun hijau tetapi batangnya ada beberapa yang berwarna. Entah gue masih bermimpi atau tidak, tapi gue mencoba menyentuh mata gue dengan tangan gue yang terasa lemah. Di saat itu teman teman gue dalam keadaan tertidur. Saat gue menyentuh mata gue, membuka kelopak mata gue lebih terbuka yang terjadi semak semak tersebut tertutupi oleh tenda ketika gue menutup kelopak mata gue secara perlahan yang terjadi gue bisa melihat tembus pandang dan melihat semak semak tadi dalam keadaan mata mengintip tertahan jari jemari gue.
Gue terus mengulang membuka kelopak mata dan menutup setengah kelopak mata gue tadi menggunakan jari tangan gue secara perlahan. Berusaha memastikan ini bukanlah mimpi. Tetapi gue memutuskan lebih baik memejamkan mata dan tertidur lagi.

Di tidur gue yang ketiga ini gue terbangun karena suara gaduh teman gue yang bernama Sena, dia berbicara sendirian ketika dia terjaga. "duarrr!!" Suara gemuruh belerang yang seperti meledak dari perut bumi "buset suara belerang meledak" Sena berkata dengan lemas dan gue terbangun membuka mata secara perlahan dengan posisi kami yang masih selalu terbaring, dan gue berkata "iya Sen keras banget". Gue tidak tau apa teman gue yang lainya mendengar suara meledaknya belerang tadi. Gue tertidur lagi.

Di tidur gue yang keempat ini, gue di bangunkan tepatnya kami di bangunkan dengan suara Sena lagi "eh tendanya rubuh eh tendanya rubuh" gue, Ferry dan Sena pun terbangun. Ternyata pasak yang di pasang sebelah Sena terlepas. Tapi dengan lucunya Ferry tiba tiba terbangun dan meraba raba bahan tenda di depan dan di atasnya, padahal yang terlepas pasak di sebelah kanan Sena.
Akhirnya Sena menahan tenda tersebut dengan tasnya agar tenda yang basah itu tidak menyentuh badanya.

Hari menjelang subuh hari, keadaan semakin mendingin. Kami merasakan dinginnya suhu seperti menjilat kulit kami.
Sekitar pukul 3 pagi gue merasa sangat mengantuk setelah tidur yang tidak menentu sebelumnya. Gue sudah pasrah apapun yang akan terjadi dan gue merasa lebih baik dengan kepasrahan gue. Akhirnya gue tertidur nyenyak, tanpa peduli apa gue akan terbangun lagi.

Sekitar pukul 6 pagi Iqbal, Ferri, dan Agung membangunkan gue. Kondisi yang sangat lemah gue terbangun dari tidur gue. Berharap sesuatu yang baik menanti kali ini. Agung keluar tenda dan membagi rasanya udara sejuk di pagi hari. Gue hanya terbaring terdiam tanpa peduli apa yang teman teman gue katakan. Gue hanya memikirkan tentang pandangan mata gue yang bisa menembus pandang. Gue bertanya tanya dalam hati, apa tadi itu mimpi atau kenyataan.

Setelah itu Gue keluar untuk membereskan peralatan yang sengaja gue tinggal di luar. Tapi belum sempat membereskan perlengkapan, mata gue di kagumkan dengan pemandangan sekitar. Gue melihat keadaan sekitar tenda kami. Melihat kejadian semalam yang menegangkan dan menakutkan lebih indah saat pagi hari.
Gue melihat jalan bebatuan yang kami lewati dari kejauhan, gue melihat asap belerang yang keluar dari permukaan, dan melihat sinar matahari yang mulai terbuka karena sebelumnya tertutup awan. Agung dan yang lainya sangat mengsyukuri segala hal yang menimpa kita saat matahari mulai menghangatkan kami. Kami melihat dari kejauhan beberapa pendaki mulai memasuki jalan bebatuan. Kami mempersiapkan perlengkapan masing masing setelah sebelumnya kami sarapan.
Setelah melipat tenda, kami mencari jalan menuruni bukit semak semak yang kami singgahi. Setelah berhasil turun kami mulai bertukar cerita tentang kejadian semalam. Kami merasa bersyukur tuhan telah mengingatkan kami dengan kematian kami masing masing. Kami bersyukur atas segalanya.

PULANG

Setelah menyebrangi aliran sungai kecil, kami melintasi sumber asap belerang sampai akhirnya kembali kejalur bebatuan dan mengikuti rombongan pendaki yang lainnya.
Kami terus mengikuti pendaki lainnya berjalan keatas, kondisi kami yang jelas berbeda dengan pendaki yang lainnya.
Kami terus mendaki ke puncak. Sampai akhirnya kami sampai puncak dan mendirikan tenda lagi seperti pendaki yang lainnya. Pendaki lain heran melihat kami yang berlima dalam satu tenda, mereka heran melihat kami. Seharusnya mereka tau apa yang terjadi pada kami semalam. Mereka hanya mendaki menuju puncak dan mendirikan tenda lalu keesokan harinya mereka pulang. Berbeda dengan pengalaman kami yang mereka tidak akan tau, mungkin tidak akan mau.

Setelah beristirahat makan siang dan sebagainya kami memutuskan untuk pulang hari itu juga, pendaki lain melihat kami yang bersiap untuk pulang dan melihat kita melipat tenda kami padahal beberapa jam yang lalu kami baru memasang tenda. Karena menurut kami kondisi di situ tidak terlalu kondusif. Berbeda dengan sebelumnya, walaupun kami tersesat tetapi kondisi kami berkemah lebih kondusif. Akhirnya kami menuruni gunung Papandayan kembali tanpa mengikuti pendaki lain. Setelah beberapa jam pada saat kami melewati jalan bebatuan kami menengok ke arah kanan, ketempat bukit semak di mana kami semua semalam tersesat dan tidur disana. Kami merasa senang walaupun tersesat menurut kami ini adalah sesuatu yang lebih berharga yang pernah kami alami, yang belum tentu pendaki Papandayan yang lainnya pernah merasakannya. Setelah melewati jalan bebatuan kami menuju tempat pos Akang yang sebelumnya. Tapi kali ini lebih ramai oleh pendaki yang akan mendaki. Si Akang pun terheran kepada kami dan beliau bertanya "loh kok udah pada turun ? Dingin yaa ?" Salah satu dari kami hanya menjawab "hehe iyakang" kami pun beristirahat sejenak.

Gue melepas sepatu dan menggantinya dengan sandal sesampainya di pos bawah, karena sepatu yang gue pakai rusak. Memijat mijat telapak kaki yang terasa sakit. Tanpa berlama lama kami memutuskan untuk pulang. Kami turun menggunakan ojek Akang dan kawan kawannya, karena mereka kasihan melihat kami jadi mereka memotong biaya ongkos ojek ke bawah menjadi 20 ribu. Memang Akang Akang di Papandayan lebih baik ketimbang ojek di pinggir jalan raya. Sesampainya kami di jalan raya kami menuju Minimarket untuk memesan tiket kereta, namun sayang kereta ke arah Jakarta tidak berhenti di stasiun tadi. Kami berdebat di pinggir jalan di pertambah satu mobil angkot yang menunggu kami. Kami berdebat karena beberapa dari kami kekurangan biaya akomodasi, karena masalah perhitungan akomodasi yang tidak benar. Setelah berdebat segala macam, kami memutuskan menaiki angkot yang menunggu kami tadi. Angkot tersebut menuju terminal guntur, saat maghrib hari kami sampai ke terminal. Tetapi bus yang ke arah Jakarta telah habis, dan mobil pertama akan datang sekitar pukul 2 pagi nanti.

Kami pun bermalam di mushola tidak jauh dari terminal. Kami mulai membicarakan masalah yang telah terjadi dan mengevaluasinya. Di saat yang bersamaan hidung gue masih mencium baunya aroma belerang mungkin karena banyak yang terhirup. Kami mulai mengevaluasi semua kesalahan kesalahan kami masing masing. Dari mulai perlengkapan yang kurang memadai, rute perjalanan, akomodasi perjalanan, rute pendakian, dan perilaku kita masing masing. Mulai mengambil pembelajaran dari semua permasalahan tadi. Selain gue harus merelakan seluruh uang yang gue bawa untuk menutupi biaya salah satu temen baik gue jadi persiapan gue membawa uang lebih tidak sia sia. Setelah semua masalah di rasa selesai kami pun tertidur menunggu jam 2 pagi, kami tidak apa apa harus menunggu bus di mushola dekat terminal. Karena kami pernah merasakan yang lebih buruk dari itu.

Kami terbangun tepat pukul 2 pagi dan bus menuju Jakarta mulai berdatangan. Kami pun pulang dengan selamat menuju Jakarta tempat yang seharusnya lebih mematikan dibandingkan dengan sebuah gunung.
Selama di perjalanan menuju Jakarta, gue melihat pemandangan malam kota Garut menuju Jakarta melalui jendela bus dan mulai mengambil pelajaran berharga yang gue rasakan dari semua pengalaman di hari itu.

Kita hidup seperti Zombie, kita bangun, melakukan rutinitas, dan tertidur kembali hanya untuk mengulangi hal yang sama. Kita ada, tapi apa kita merasa hidup ? Tinggalkan zona membosankan.
Apapun kita, seseorang yang amatir atau profesional semua sama saja. Yang lebih penting adalah kita tidak kalah dengan keegoisan kita masing masing.
Belajar menghargai hidup, berserah diri menyerahkan hidup dan kematian kita kepada tuhan, berfikir sebelum bertindak, dan selalu berbuat baik kepada orang tua.
Alam tidak pernah membohongi kita, justru kita yang terlalu sering membohongi diri kita sendiri.
Semua pengalaman ini akan selalu gue ingat, sampai akhirnya gue tidur di bus yang kami tumpangi. Menanti apa yang akan gue hadapi lagi kedepannya.



Boleh kritik dan sarannya, apapun itu gue terima. "Macaca" publish minggu depan Sabtu, 28 November 2015




Tuesday, November 10, 2015

Mohon Maaf

Hai! Maaf sebelumnya blog ini dalam perbaikan, jadi postingan yang lama sudah sengaja di hapus. Kemungkinan postingan yang baru akan segera di publish. Mudah mudahan ceritanya bagus dan kalian suka.
Oh iya, gue lagi nulis beberapa novel. Mudah mudahan bisa berbentuk buku.
Jadi gue pribadi mohon doa kalian para pembaca agar novel gue di terima penerbit minimal gue sendiri yang cetak. lol
Sekian terima kasih

"Hiking" cerita tentang pengalaman pertama gue mendaki gunung segera publish di blog ini pada tanggal dan hari Sabtu, 21 november 2015. Menemani malam minggu kalian dengan SATU cangkir kopi.
 
Copyright 2009 MACACA